Rabu, 23 Januari 2013

" Hocus focuuz of soccer fever......"

" Sepakbola dari masa ke masa menemukan banyak bocah ajaib yang "jadi pria lebih cepat dari anak-anak kebanyakan": Duncan Edwards, Pele, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan sekarang Pep Guardiola.

Ada komentar menarik dari Ron Atkinson ketika dia masih menangani Manchester United. Pada suatu hari, Atkinson yang berjuluk 'Big Ron' itu memutuskan untuk memberikan debut kepada Norman Whiteside. Usia Whiteside ketika itu bahkan belum 17 tahun. Ada yang heran, tapi Atkinson punya jawaban sendiri untuk keputusannya itu.

"Norman tidak pernah berusia 16 tahun. Dia 25 tahun atau sekitar itu. A man is born a man. Seorang pria terlahir sebagai seorang pria," kata Atkinson.

Alasan Atkinson bak jadi pembenar, justifikasi, dari banyak alasan pelatih lainnya ketika mereka memainkan seorang pemain dalam usia begitu muda. Duncan Edwards mencuat begitu cepat ketika usianya bahkan belum 20, sampai-sampai legenda United lainnya, Bobby Charlton, mengaku inferior di hadapannya. Pele menorehkan di Piala Dunia 1958 ketika usianya baru 17 tahun dan jadi pemain termuda yang pernah tampil di final Piala Dunia.

Entah apa juga alasan David Moyes ketika dia memberikan debut untuk Wayne Rooney bertahun-tahun setelah itu. Atau bagaimana takjubnya orang dengan bocah ajaib asal Argentina bernama Lionel Messi, bahkan sampai hari ini. Messi sudah digadang-gadang akan menjadi pemain menjanjikan ketika melakoni debut untuk Barcelona pada 2004. Usianya juga baru 17 tahun waktu itu.

Sekarang lihat di mana Messi berada. Dengan usia baru 25, yang kira-kira baru akan memasuki masa emas sebagai pesepakbola, ia sudah empat kali menjadi Pemain Terbaik Dunia. Di mana Anda ketika berusia 25 tahun?

Katakanlah, dunia kepelatihan juga seperti dunia para pemain. Di antara golongan pelatih dan manajer sepuh yang sudah banyak berseliweran, Guardiola adalah salah satu pelatih muda yang meraih banyak kejayaan. Usianya jauh lebih muda untuk ukuran seorang pelatih, baru di awal 40-an. Ketika Dino Zoff --sebagai kiper-- membawa Italia menjuarai Piala Dunia 1982 pada usia 40, pada sekitar usia yang sama Guardiola membawa dirinya (dan juga Barcelona) bergelimang trofi. Life begins at 40, mereka bilang. Di dunia kepelatihan itu, Guardiola adalah bocah ajaibnya.

Karier Guardiola terbilang panjang. Ia sudah menahbiskan namanya sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah diciptakan. Pada suatu hari, ketika Johan Cruyff turun ke pertandingan tim junior, ketika itu jugalah jalannya dimulai. Cruyff-lah yang mempromosikan namanya ke tim utama Barcelona dan menjadikannya bagian dari Dream Team di awal 90-an. Guardiola adalah salah satu lulusan pertama La Masia dan lewat contoh gaya bermainnya-lah para gelandang muda La Masia dididik. Xavi Hernandez dan Andres Iniesta menyebutnya sebagai panutan dan idola.

Ketika dia mengambil-alih kursi manajer El Barca pada 2008, usianya baru 37 tahun. Mirip seperti seorang pemain muda yang baru dipromosikan ke tim senior. Dia masih segar dan memberikan sesuatu yang baru pada sepakbola Barcelona dan juga dunia. Tak ada lagi nama-nama seperti Ronaldinho ataupun Deco. Barcelona milik Guardiola adalah tim yang dibangun di sekeliling Messi dan ditopang oleh para gelandang semodel Xavi, Iniesta, dan juga Sergio Busquets.

Bagai Pele yang mengejutkan di Piala Dunia 1958, Guardiola menggebrak dengan raihan trofi La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions pada musim perdananya melatih. Tiga trofi itu hanyalah awal. Kelak, dalam rentang waktu empat tahun melatih, jumlah trofinya menggelembung menjadi 14. Guardiola dua kali membawa Los Cules menjadi juara Eropa dan dalam empat musim, hanya satu musim dia gagal membawa timnya menjuarai liga. Catatan yang terlalu besar untuk disebut biasa saja. Mirip seperti yang dikatakan Atkinson, "Seorang pria terlahir sebagai seorang pria", Guardiola tidak pernah terlalu awal untuk menjadi seorang manajer.

---

Kalaupun ada kritik untuknya, maka itu adalah lingkungan di mana Guardiola bekerja. Dia adalah anak didik Barcelona dan dia bekerja tidak jauh-jauh dari sana. Guardiola tahu seluk-beluk klub dan berdasarkan pengetahuannya itu dia membangun timnya. Ada yang meragukan Guardiola bakal sukses jika menjadi manajer di luar Barcelona. Well, pertanyaan itu pula yang muncul ketika dirinya diumumkan menjadi manajer Bayern Munich mulai musim depan.

Jika memang demikian adanya kritik itu, maka Guardiola layak dipuji lantaran meninggalkan zona nyamannya. Dia seperti memberikan lelucon ketika mengatakan tertarik untuk menjadi manajer di Liga Inggris. Entah seperti apa bentuk hati Roman Abramovich, yang dikabarkan menginginkannya untuk Chelsea, melihat Guardiola sudah dari jauh-jauh hari menerima pinangan Bayern. Dia tidak mengiyakan Manchester City yang sudah mendatangkan mantan-mantan bos Barcelona, dan juga tidak mengangguk pada rumor yang mengatakan dia akan menggantikan Sir Alex Ferguson di United.

Dalam suatu kesempatan, talkSPORT menulis bahwa kemungkinan Guardiola untuk direcoki Abramovich sangat besar. Ini bukanlah sesuatu yang disenangi Guardiola. Sedangkan usaha City menggaet Txiki Begiristain untuk menarik minat Guardiola juga berpotensi mengundang blunder. Beberapa pemain yang dibeli ketika Guardiola dan Begiristain bekerja sama justru berujung dengan kegagalan. Di sisi lain, Bayern justru merupakan klub yang juga dibahanbakari oleh fans mereka, bukan hanya oleh para bos.

Tentu, kepindahan ke Bayern juga diiringi dengan teori konspirasi yang mengatakan bahwa Guardiola hanyalah menghabiskan waktu di Jerman sampai ada kursi kosong di Premier League. Tapi, mari lupakan teori konspirasi dan melihat pada kenyataan: Guardiola yang biasanya hanya menyetujui kontrak satu tahun itu sudah diikat Bayern selama tiga tahun.

Seekor burung tidak akan bisa menguji kemampuan sayapnya jika dia tidak pergi keluar dari sarangnya. Bayern, buat Guardiola, adalah sebuah tes. Tes dan tantangan untuk kemampuannya sebagai manajer --jika meruntun pada ucapan Atkinson lagi, "sebagai seorang pria". Tapi, toh dia pasti tidak bodoh dan asal pilih klub untuk menguji kemampuannya itu. Bayern adalah klub yang stabil dan punya sejarah tahunan yang menjadikan mereka salah satu raksasa terbaik Eropa. Langkahnya memilih klub yang stabil seperti itu mengundang pujian dari Tito Vilanova dan Arsene Wenger.

Kalaupun masih ada nada miring mengenai tantangan tersebut, maka itu adalah kenyataan mengenai dominasi Bayern di Bundesliga. Bayern sudah pasti bakal juara --atau paling tidak menjadi calon juara--, demikian ucapan pada nada miring itu. Benarkah demikian? Di satu sisi, bahwa Bayern bakal menjadi calon juara, ada benarnya. Sebagai raksasa mereka selalu dijagokan setiap musimnya. Tapi, dominasi Borussia Dortmund dalam dua musim terakhir, atau mencuatnya Borussia Moenchengladbach musim lalu menunjukkan, Liga Jerman tetap punya tantangan.

Di sisi lain, dengan gadang-gadang bahwa Bayern sudah pasti akan mendominasi, bukankah pekerjaan Guardiola menjadi lebih berat? Dia, mau tidak mau dan suka tidak suka, harus sukses. Bisa dibayangkan kritik seperti apa lagi yang bisa dijatuhkan padanya jika Bayern gagal total. Ini juga soal pembuktian reputasinya.

Bayern adalah klub yang dalam tiga musim terakhir sukses melaju ke final Liga Champions sebanyak dua kali, dan dua-duanya berakhir sebagai runner-up. Tentu, ada harapan bahwa Guardiola bisa membawa Bayern melebihi dua catatan tersebut dan bukan malah kurang dari itu. Ini sebuah ekspektasi lagi. Dan Bayern sebenarnya punya cukup modal untuk dibawa Guardiola meraihnya.

Dalam catatan yang pernah dilansir oleh Who Scored, Bayern adalah klub nomor dua di bawah Barcelona untuk urusan ball possession. Dalam catatan yang dirangkum dari lima liga teratas di Eropa itu, Bayern punya rata-rata penguasaan bola 63% per pertandingan. Sementara Barcelona punya catatan 68,8% per pertandingan. Die Roten juga punya persentasi operan sukses kedua tertinggi setelah Barcelona. Jika Barcelona mencatat angka 89,7%, maka Bayern mencatat angka 87,6%.

Dari statistik tersebut, terbaca bahwa gaya bermain Bayern mirip dengan permainan yang diinginkan Guardiola, di mana penguasaan bola adalah sesuatu yang penting. Bayern punya gelandang-gelandang seperti Bastian Schweinsteiger, yang biasa mendikte tempo sebagai gelandang tengah, serta Toni Kroos dan Javi Martinez yang bisa begitu nyaman memperagakan ball possession. Tambahan lainnya, Bayern juga punya bek tengah yang bisa memulai permainan dari lini belakang.

Dengan segala modal bagus itu, bukankah hal yang mubazir jika Guardiola tidak menyempurnakannya dan ujung-ujungnya gagal? Tidakkah kewajiban untuk sukses itu menjadi tantangan tersendiri untuknya
....."


by.@Rossifinza to dms1610

Tidak ada komentar:

Posting Komentar